e-Konsel: Mengenal Masalah Kejiwaan

-*- PENGENALAN AKAN TANDA-TANDA UTAMA DARI PENYAKIT JIWA -*-

  Tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang terbebas sama sekali
  dari kemungkinan untuk menjadi penderita gangguan kejiwaan. Dalam
  pemakaian "defense mechanism" misalnya, barangkali dapat dikatakan
  bahwa perbedaan normal dan abnormal hanya terletak pada frekuensi
  dan intensitas dari penggunaan defense itu. Begitu juga dengan
  gejala dan tanda-tanda yang abnormal pada umumnya. Hampir setiap
  orang yang tergolong normal pada saat-saat tertentu dan dalam
  kondisi hidup yang tertentu pernah menunjukkan gejala abnormal dalam
  sikap, cara berpikir, dan tingkah laku mereka.

  Oleh karena itu, hamba-hamba Tuhan sebagai konselor harus berhati-
  hati dalam mengenali dan mengklasifikasikan klien dalam kelompok
  orang-orang yang disebut penderita gangguan kejiwaan.

  Hal ini disebabkan oleh karena:
  -- Tanda-tanda dan gejala-gejala abnormal yang klien tunjukkan
     belum tentu gejala penyakit jiwa yang sesungguhnya sehingga
     harus/perlu di-refer ke dokter jiwa.

  -- Kita menyadari keterbatasan dan kelemahan manusiawi dokter-
     dokter jiwa dan petugas rumah sakit jiwa yang sering kali salah
     men-diagnosa klien/pasien.

  D.N. Rosenhan telah membuktikan hal ini dengan eksperimen-
  eksperimennya, yang seharusnya membuat setiap hamba Tuhan lebih
  waspada dan berhati-hati dalam mengirimkan pasien ke rumah sakit
  jiwa. ==contoh dipotong==

  Ini tidak berarti bahwa hamba Tuhan tidak perlu bekerja sama dengan
  psikiater dan rumah sakit jiwa, karena hal tersebut di atas
  menunjukkan kepada kelemahan manusiawi si dokter dan pihak rumah
  sakit jiwa dan bukan menunjukkan pada "ketidakbenaran" ilmu psikatri
  dan psikologi itu sendiri. Kelemahan-kelemahan manusiawi dari
  profesional-profesional lain justru menyadarkan hamba-hamba Tuhan
  betapa besar tanggung jawab mereka dalam pelayanan konseling. Untuk
  itu ia harus mempunyai pengenalan umum tentang gejala-gejala dan
  tanda-tanda utama dari penyakit jiwa.

  a. Beberapa gejala yang muncul secara bersamaan.
  ------------------------------------------------
  Bagi orang yang tergolong normal, gejala abnormal biasanya muncul
  sebagai satu-satunya gejala, sedangkan aspek-aspek hidup lainnya
  tidak menunjukkan gejala abnormal.

  Misalnya:
     Oleh karena tekanan kehidupan, seorang dapat menangis meraung-
     raung; tetapi begitu muncul orang lain ia sadar dan tahu
     mengontrol ataupun mengarahkan tangisan itu pada tujuan yang
     rasional dan dapat diterima oleh lingkungan itu pada umumnya.

     Tapi lain halnya dengan penderita penyakit. Beberapa gejala
     abnormal muncul dan nampak secara bersamaan; ia menangis meraung-
     raung, tidak menyadari bagaimana pikiran orang lain terhadap
     tingkah lakunya dan ia mengarahkan tangisan itu pada sesuatu yang
     kacau dan irrasional.

  b. Gejala-gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya.
  --------------------------------------------------------------
  Munculnya gejala itu membuat orang yang bersangkutan lain daripada
  sebelumnya. Orang-orang lain mengenali bahwa ia sesungguhnya tidak
  seperti itu, dan seharusnya tidak melakukan tingkah laku yang
  semacam itu.

  Misalnya:
  -- Bermain-main dengan kotorannya sendiri, bahkan kadang-kadang
     dimakannya.

  c. Gejala-gejala itu bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama
     dan muncul terus-menerus.
  -----------------------------------------------------------------
  Orang yang normal dapat bertingkah laku abnormal, tetapi akan
  segera menyadari dirinya dan cenderung untuk segera menyesuaikan
  diri dengan apa yang diinginkan lingkungannya. Tetapi lain halnya
  dengan penderita penyakit jiwa.

  Di samping itu penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui gejala-
  gejala:

  1. Physical (fisik/badani)
  --------------------------
  Banyak sekali gejala kejiwaan (seperti misalnya, perasaan tidak
  aman, sedih, marah, cemas, dsb.) yang langsung dapat mempengaruhi
  kondisi tubuh orang yang bersangkutan. Jikalau orang tersebut
  kemudian menderita sakit, maka jelas penyakit itu pertama-tama
  disebabkan oleh keadaan kejiwaannya. Ini yang seringkali disebut
  sebagai 'psychosomatic' atau 'psychophysiological reaction', yaitu
  gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai gangguan
  tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya (tidak selalu) tergolong
  'psychosomatic reaction' antara lain: asma, sakit kepala, insomnia,
  radang usus besar, diarrhea, beberapa penyakit kulit seperti: eksem,
  gatal-gatal, borok yang tidak sembuh-sembuh, dsb.

  Tentu saja orang-orang dengan gejala psyhosomatis tidak begitu saja
  dapat digolongkan sebagai penderita sakit jiwa, meskipun gejala-
  gejala itu timbul oleh karena gangguan-gangguan kejiwaan. Sebagian
  besar dari gejala-gejala ini ada pada orang-orang yang normal, oleh
  karena itu meskipun memerlukan pengobatan dari dokter, mereka tidak
  boleh sama sekali diperlakukan sebagai pasien-pasien penyakit jiwa.

  2. Psychological (jiwani)
  -------------------------
  Penyakit dan gangguan kejiwaan biasanya juga diekspresikan secara
  jiwani misalnya:

  i. Faulty Perception  (persepsi yang kacau)
     Manusia diperlengkapi dengan bermacam-macam indera. Jikalau
     rangsangan tiba, maka rangsangan itu akan diteruskan melalui
     sistem persyaratan ke otak. Dengan inilah orang dapat melihat,
     mengenali, mendengar suara, merasa panas dingin, sakit, mencium
     bau, dsb. Tetapi, ada kasus-kasus kejiwaan yang kadang-kadang
     dapat menyebabkan terganggunya proses persepsi ini sehingga orang
     tersebut dengan mata, hidung, telinga, lidah dan kulit yang
     normal ternyata mempunyai persepsi yang berbeda bahkan kacau
     balau. Ia bisa seolah-olah buta (psychological blindness), tidak
     dapat mendengar apa-apa, atau selalu mendengar suara yang orang
     lain tidak dengar, dan melihat penglihatan yang orang lain tidak
     lihat. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan orang merasa lampu
     20 watt dalam kamar itu terlalu terang, atau suara titik air yang
     jatuh satu per satu dari kran sebagai suara pukulan palu di
     kepalanya, dsb.

     Dari sini kita mengenal istilah-istilah seperti:
     -- Ilusi, yaitu penyalahtafsiran stimulan pada indera
        penglihatan.
        Misalnya: Melihat pohon sebagai orang.
     -- Halusinasi, yaitu persepsi yang terjadi meskipun tidak ada
        stimulan yang sesungguhnya.
        Misalnya: - Melihat suami yang sudah meninggal, bahkan dapat
                    berkata-kata kepadanya.
                  - Mendengar suara-suara aneh, dsb.

 ii. Distorted thinking  (pemikiran yang menyimpang dan kacau)
     Gangguan kejiwaan sering kali juga diekspresikan dalam bentuk
     pemikiran yang kacau dan tidak masuk akal.

     Misalnya:
     -- Si Amir yang yakin bahwa ia lahir 2000 tahun yang lalu.
     -- Si Ahmad yang begitu yakin bahwa di bawah tempat tidurnya
        ada bom waktu yang dipasang oleh anak buah Khomeini.

     Inilah yang disebut 'distorted thinking', yang menjadi salah
     satu tanda dari gangguan kejiwaan.

     Melihat isinya, 'distorted thinking' dapat dibagi dalam tiga
     golongan yaitu:
     -- Obession  (obsesi): yaitu pemikiran yang irasional yang timbul
        karena dorongan dan kenangan yang tidak menyenangkan, sehingga
        seolah-olah ada sesuatu yang membuat dia terus-menerus
        berpikir, "...saya harus..." atau "pasti akan...", dsb.
        Misalnya:
        Pengalaman melihat orang yang dianiaya dalam peperangan,
        menyebabkan ia berpikir "pasti suatu hari saya akan mengalami
        hal yang serupa". Ia begitu yakin di luar rumah sudah menanti
        orang-orang yang akan menganiaya dia, sehingga ia terdorong
        untuk terus-menerus melakukan hal-hal yang irasional, seperti
        bersembunyi di bawah kolong, mengintip melalui lubang pintu, dsb.

        Pengalaman dengan orangtua yang perfectionist, membuat ia
        selalu merasa ada dorongan "saya harus membereskan ini", "saya
        harus menyelesaikan itu"; dan ini sering kali tidak masuk akal,
        misalnya, bangun tengah malam hanya untuk membersihkan mobil, dsb.

     -- Phobia: yaitu rasa takut yang irasional. Dan ini bisa
        berbentuk rasa takut berada dalam ruangan gelap, rasa takut
        pada darah, air, ular, angin, di tengah banyak orang, berada
        di tempat tinggi, lewat jembatan, dsb.

     -- Delusion  (delusi): yaitu pemikiran yang irasional yang
        menggejala dalam bentuk munculnya keyakinan (palsu) bahwa hal
        itu benar-benar ia alami, atau ia dengar, atau ia lihat, dsb.
        Misalnya:
        Yakin betul bahwa ia bertemu dengan Tuhan Yesus, bahkan yakin
        betul bahwa ia sendiri telah diangkat menjadi rasul dan
        menuntut orang-orang lain mengikut dan menyembah dia.

iii. Faulty Emotional Expression  (Ekpresi dari emosi yang keliru)
     Setiap orang sudah belajar sejak kecil bagaimana mengekspresikan
     perasaan senang, susah, sakit, bahagia, kasih, benci, dsb. Dan
     umumnya orang yang normal mempunyai pengekspresian yang mirip
     dengan orang-orang lain. Misalnya, tertawa sebagai ekspresi dari
     rasa sedih. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang yang
     mengalami gangguan kejiwaan, mereka seringkali melakukan
     pengekspresian emosi secara keliru, dan tentunya berbeda daripada
     orang-orang pada umumnya.

  Pengekspresian emosi yang keliru ini dapat berbentuk:
  a. Tanpa ekspresi
     Penderita sakit jiwa seringkali hidup dalam dunianya sendiri,
     sehingga emosinya tidak tergerak oleh keadaan dan situasi di
     sekelilingnya. Mereka tidak tertawa atas hal-hal yang lucu dan
     menyenangkan, juga tidak sedih atas hal-hal yang menyedihkan.

  b. Elation atau Euphoria  (ekspresi/gembira yang berlebih-lebihan)
     Penderita sakit jiwa juga sering kali mengekspresikan emosi
     secara berlebih-lebihan. Untuk hal yang kecil dia bisa tertawa
     sampai menangis.

  c. Depresi
     Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa mengalami/merasa tidak
     bergairah, kecil hati dan susah, tetapi hanya untuk sementara
     saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan penderita sakit jiwa.
     Ada kasus-kasus di mana tanpa alasan yang jelas perasaan sedih
     itu timbul tenggelam dan bahkan bertahan lama. Mereka memang
     dapat mengatakan bahwa mereka kuatir terhadap sesuatu (entah
     pekerjaan, keluarga, kesehatan, masa depan, dll.) tetapi
     sebenarnya hal-hal itu bukan penyebab utama dari kekuatiran yang
     berlebih-lebihan itu. Hal-hal itu hanyalah 'precipitating factor'
     yang menjadi gangguan kejiwaan oleh karena sudah ada
     'predisposing factor' pada mereka itu. Oleh karena itu, hal-hal
     yang bagi orang lain cuma menimbulkan perasaan sedih yang normal
     dan untuk sementara, bagi mereka menjadi "depresi" dimana putus
     asa dan tidak bahagia yang terus-menerus.

     Enos D. Martin seorang psikiater menyebutkan tentang tiga jenis
     depresi dengan contoh-contoh praktis:

     -- normal grief reaction  (rasa sedih sebagai reaksi yang normal
        atas suatu 'kehilangan')
        Seorang pendeta yang mendekati masa pensiun merasa sedih oleh
        karena munculnya perasaan 'tidak berguna dan tidak dapat
        dipakai lagi'. Tekanan kesedihan itu telah menimbulkan macam-
        macam gangguan seperti misalnya kehilangan nafsu makan, tidak
        bisa tidur, sakit kepala, dsb. Ternyata setelah majelis gereja
        menyatakan bahwa pensiun baginya cuma berarti bahwa ia tidak
        perlu lagi mengerjakan tugas-tugas administrasi (yang berarti
        bahwa ia masih boleh berkotbah, melakukan konseling, dsb.)
        langsung gejala-gejala kejiwaan itu lenyap.

     -- neurotic depression  (depresi yang neurotis)
        Pendeta X mengalami depresi oleh karena sebagai pendeta senior
        ia merasa tersaing dengan munculnya pendeta muda yang dalam
        beberapa hal sangat dikagumi oleh jemaat. Ia tidak bisa tidur,
        kehilangan nafsu makan, dsb. Penghiburan dari banyak orang
        bahwa ia mempunyai lebih banyak kelebihan ternyata tidak
        menolong. Dalam kasus ini jelas bahwa kesedihannya bukan
        sekedar 'normal grief reaction', ia betul-betul menderita
        depresi dan harus mendapatkan pengobatan dari dokter.
        Diketemukan oleh dokter jiwa bahwa pendeta ini ternyata
        mempunyai 'predisposing faktor' untuk depresi, seperti
        misalnya, kegoncangan emosi cukup hebat pada masa kecil ketika
        ia sakit dan harus masuk rumah sakit, juga faktor lain bahwa
        semasa kecilnya ia kurang mendapatkan kasih sayang dari
        orangtuanya.

     -- endogenous depression  (bakat depresi yang diturunkan dari
        orang-tuanya)
        Pendeta Y mengalami depresi oleh karena usahanya untuk
        mendamaikan dua orang tokoh gerejanya tidak berhasil, bahkan
        berakibat fatal, yaitu kedua-duanya justru menyalahkan dia. Ia
        sekarang merasa bahwa seluruh kehidupannya termasuk
        pelayanannya gagal. Ia kemudian menderita insomnia (tidak
        dapat tidur), kehilangan nafsu seksuil, nafsu makan, tidak ada
        gairah lagi pada segala hobinya, sering menangis dan
        menjauhkan diri dari perjumpaan dengan orang lain bahkan
        berkali-kali mencoba untuk bunuh diri. Diketemukan pada
        pendeta ini, adanya 'predisposing factor' depresi yang lebih
        berat dari pendeta X; karena pendeta Y mempunyai bakat-bakat
        biologis yang diturunkan dari orangtuanya. Ibunya juga seorang
        penderita depresi berat. ("What is Depression", Leadership,
        Winter 1982, Vol. III, No. 1, pp. 82-83).

  d. Emotional variability  (macam-macam pengekspresian emosi)
     Setiap orang akan mengalami naik turunnya emosi sebagai reaksi
     atas pengalaman-pengalaman kehidupan ini. Tetapi bagi penderita
     penyakit jiwa naik turunnya emosi ini tidak sesuai dengan realita
     yang ada. Mungkin pengalaman yang menyenangkan ini sudah terjadi
     beberapa hari yang lalu dan tiba-tiba ia bisa tersenyum-tersenyum
     bahkan tertawa-tawa tanpa dapat dikontrol oleh karena ingat akan
     hal itu. Sering juga diketemukan penderita penyakit jiwa yang
     menangis tanpa alasan untuk menangis, atau tiba-tiba marah dan
     menyerang orang lain tanpa sebab, dsb.

  e. Inappropriate affect  (reaksi emosi yang tidak tepat)
     Sedikit berbeda dengan 'emotional variability', di sini orang
     yang mendapat gangguan kejiwaan biasanya memberikan reaksi emosi
     yang tidak cocok dengan stimulan yang ada.
     Misalnya: -- Menangis mendengar cerita yang lucu
               -- Tertawa geli melihat orang yang sedih menangis
                  ditinggalkan kekasihnya.

 iv. Unusual motor activity  (activitas motorik yang tidak normal)
     Dalam kehidupan ini kita kadang-kadang dapat melakukan aktivitas
     motorik yang tidak biasa, misalnya: berlari, berkata, berpikir,
     berbuat lebih cepat atau lebih lambat daripada biasanya. Tetapi
     untuk itu selalu ada alasan dan tujuan yang jelas dan disadari,
     dan hanya untuk sementara saja, tetapi lain halnya dengan
     penderita penyakit jiwa. Sering kali kita bisa mengenali adanya
     tanda-tanda gangguan kejiwaan melalui aktivitas motorik yang
     tidak normal, misalnya:

     a. Over activity  (activitas yang berlebihan)
     Sebagai contoh, pasien yang berbicara terus-menerus dengan
     susunan kalimat yang tidak mengandung pengertian sama sekali
     (kacau, dan irasional). Ketidakmampuan untuk duduk tenang, terus-
     menerus gelisah; terkejut bahkan lari ketakutan atas suara
     tertentu; tangan dan kaki bahkan mata yang bergerak-gerak terus,
     dsb.

     b. Under activity  (kurang aktif)
     Sebagai kebalikan dari 'over activity', maka gejala penyakit jiwa
     sering kali ditandai oleh sikap diam, tidak bergerak-gerak,
     seperti seolah-olah lemah badan, tidak dapat berbicara, dsb.

     c. Compulsive activity  (aktivitas yang tidak terkendalikan)
     Dalam hidup ini sering kali kita merasakan adanya dorongan yang
     besar untuk melakukan sesuatu, tetapi sering kali oleh karena
     sebab-sebab tertentu hal itu belum dapat dilaksanakan. Bagi orang
     yang normal hal ini biasa dan ia bisa menyesuaikan diri dengan
     mengalihkan perhatian pada aktivitas-aktivitas yang lain. Tetapi
     pada penderita penyakit jiwa tidak demikian, mungkin apa yang ia
     ingin lakukan sendiri tidak ia sadari lagi, tetapi ia merasakan
     adanya dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu aktivitas. Dan
     ini diekspresikan dengan menggigit-gigit kuku terus-menerus,
     menggaruk-garuk kaki, mempermainkan alat kelamin, menggigit-gigit
     bibir, melipat-lipat tangan, menulis-nulis dengan jari, menghisap
     ujung baju, dsb.

  v. Gejala abnormal yang lain
     Tanda-tanda lain dari adanya gangguan kejiwaan dalam ketegori ini
     sering kali dapat diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari
     orang-orang yang normal. Oleh karena itu kita harus berhati-hati
     dan tidak menyamaratakan setiap gejala sebagai abnormal atau
     gejala penyakit jiwa.
     Misalnya:
     -- Disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia
                      berada, siapa dirinya, hari apa sekarang, dsb.
     -- Withdrawal;   menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan
                      orang-orang lain.
     -- Kecurigaan yang berlebih-lebihan.
     -- Kepekaan yang berlebih-lebihan terhadap otoritas.
     -- Menyembunyikan sesuatu secara tidak normal, misal, uang
        disimpan di bawah tanah.
     -- Rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal.
     -- Kekanak-kanakan, dsb.

  3. Sosial
  ---------
  Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah
  laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal
  masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk
  sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin
  menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika
  ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
  Meskipun demikian, tidak secara otomatis orang yang "tidak dapat
  menyesuaikan diri" dapat disebut sebagai orang yang tidak normal
  atau punya gejala penyakit jiwa, jikalau ia dengan sadar melakukan
  hal itu. Yang mungkin oleh karena ia memang tidak/belum menjadi
  bagian integral dari masayarakat itu. Kasus-kasus seperti misionaris
  konteks sosial, kita baru bisa mengenali adanya gejala abnormal,
  jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah laku
  yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara
  integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya.

  4. Spiritual (rohani)
  ---------------------
  Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara
  spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan,
  fanatik, keragu-raguan yang terus-menerus, dsb. Frank Minirth
  mengatakan bahwa gangguan-gangguan kejiwaan bisa menggejala secara
  rohani:
     "A person with an impending psychotic break may display an
     intense religious preoccupation. Someone having an obsessive
     compulsive neurosis may struggle with a fear of having committed
     the unpardonable sin. Or he may fear he hasn't really trusted
     Christ as Savior. Emotional and physical problems manifest still
     another spiritual cloaks. Individuals with temporal lobe epilepsy
     may communicate renewed religious interest and moral piety. Those
     with a manic-depressive psychosis may talk in a religious jargon.
     People diagnosed as having schizophrenia, obsessive-compulsive,
     ego-alien thought, and multiple personalities are sometimes
     victims of demon-possession."
     ("Why Christians Crack-Up". Moody Monthly. Feb. 1982. p.13)

-*- Sumber -*-:
  Judul Buku: Pastoral Konseling (1)
  Penulis   : Dr. Yakub B. Susabda
  Penerbit  : Yayasan Penerbit Gandum Mas, Cetakan Kesembilan, 2000
  Halaman   : 139 - 146


*TELAGA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TELAGA*

  "Pola pikir hitam putih" adalah pola pikir tidak sehat yang membuat
  orang mempunyai kecenderungan untuk mengalami problem kejiwaan,
  misalnya depresi. Disebut "pola pikir hitam putih" karena ia membagi
  pola pikir dalam dua kutub -- hitam atau putih, benar atau salah,
  jelek atau baik. "Pola pikir hitam putih" bisa mengganggu kestabilan
  jiwa seseorang dan itu tentunya akan mengganggu juga kehidupan
  berkeluarga. Bagaimana cara mengatasinya? Simak cuplikan diskusi
  TELAGA dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi berikut ini:

                    -*- POLA PIKIR HITAM PUTIH -*-

-------
  T: Ada banyak pola pikir didalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi
     saya pernah mendengar ada satu bentuk pola pikir yang bisa
     mengganggu kestabilan jiwa seseorang dan itu dapat mengganggu
     kehidupan berkeluarga, baik hubungan suami-istri ataupun hubungan
     antara orangtua dengan anak. Apakah Bapak bisa menjelaskan
     masalah ini lebih jauh?

  J: Ada pola pikir tertentu yang tidak sehat yang membuat seseorang
     dapat mempunyai kecenderungan untuk mengalami problem kejiwaan,
     salah satunya yang mungkin bisa diidap olehnya adalah problem
     depresi atau masalah yang berkaitan dengan relasinya dengan orang
     lain. Pola pikir itu disebut "pola pikir hitam putih". Sebetulnya
     ini berasal dari ungkapan yang saya petik dari seorang pakar
     psikologi bernama David Burn dalam bukunya "New Mood Therapy".
     Dia menyebut pola pikir "Either or Neither" atau "All or Nothing"
     yang saya singkat menjadi "pola pikir hitam putih".

     Maksudnya begini, "pola pikir hitam putih" adalah pola pikir
     yang cenderung membagi dunia ini dalam dua kutub, hitam atau
     putih, benar atau salah, jelek atau baik, suka atau tidak suka.
     Padahal hidup ini tidak selalu bisa kita bagi dalam dua kutub
     sejelas itu. Hidup ini seperti pelangi dimana banyak warna yang
     terdapat di antara hitam dan putih itu, abu-abu misalnya. Nah,
     orang-orang yang ber-"pola pikir hitam putih" cenderung
     bertabrakan dengan peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya.
     Jadi memang betul "pola pikir hitam putih" bisa mengganggu
     bukan hanya kehidupan pribadinya tapi juga hubungannya dengan
     orang lain.

-------
  T: Kalau boleh tahu, bagaimana "pola pikir hitam putih" itu bisa
     terbentuk dalam diri seseorang?

  J: Ini biasanya bersumber dari pengalaman-pengalaman masa lampau.
     Ada juga yang berteori bahwa pola pikir seperti ini bisa muncul
     secara genetik artinya: kalau memang salah satu orangtuanya
     berpola pikir sangat kaku seperti itu maka ia pun akan mewarisi
     pola pikir yang serupa. Saya akan berikan satu contoh praktis.
     Misalkan seorang anak dibesarkan oleh seorang ayah yang sangat
     keras sekali dimana dia dituntut untuk harus memenuhi syarat si
     ayah sehingga dia tidak bisa berkelit, kalau berkelit dianggap
     dia tidak benar, dianggap salah. Jadi benar-benar tuntutan itu
     sangat tinggi sekali. Nah, kalau seseorang dibesarkan dalam
     sistem keluarga yang mempunyai tuntutan tinggi dan kaku seperti
     itu si anak bisa tertular akhirnya. Dia akhirnya juga membentuk
     tuntutan yang sama yang dia letakkan baik terhadap dirinya maupun
     terhadap orang lain. Dia menuntut orang juga harus memenuhi
     permintaannya atau syaratnya. Kalau orang tidak memenuhi
     syaratnya, berarti orang itu berniat untuk mengecewakannya, sebab
     itulah yang dialaminya waktu dia masih kecil atau waktu dalam
     masa pertumbuhannya.

     Tatkala dia gagal memenuhi permintaan si ayah misalnya, si ayah
     marah sekali dan menuduhnya sengaja ingin mengecewakannya. Nah
     akhirnya pola pikir itu atau perlakuan seperti itu membentuk pola
     pikirnya yang ia terapkan pada dirinya dan pada orang lain juga,
     bahwa orang itu harus memenuhi tuntutan, kalau tidak memenuhi
     tuntutan berarti memang sengaja ingin mengecewakannya. Nah,
     akhirnya hal itu makin menjadi bagian dari hidupnya, itu salah
     satu contohnya.

-------
  T: Memang pola pikir yang sudah terbentuk sejak dia kecil itu akan
     sangat-sangat sulit untuk bisa dilepaskan begitu saja kecuali
     kuasa dari Tuhan Yesus sendiri yang sanggup memerdekakan dia.

  J: Ya, sesungguhnya kerangka atau tulang belakang dari iman Kristen
     adalah anugerah dan anugerah itu sebetulnya adalah lawan dari
     hitam putih atau pola pikir seperti ini. Tuhan benar-benar
     memberikan kita suatu ruang gerak yang sangat lapang, Dia
     menerima kita apa adanya. Tuhan tidak menoleransi dosa tetapi
     Tuhan menerima orang yang berdosa. Jadi memang ini sesuatu yang
     kadangkala susah untuk kita cerna, tapi memang itulah anugerah,
     anugerah benar-benar menerima kita apa adanya.

-------
  T: Jadi satu-satunya jalan untuk penyembuhan orang yang punya pola
     pikir seperti itu kalau mereka itu sudah lahir baru?

  J: Ya itu langkah pertamanya. Meskipun saya harus juga mengakui
     bahwa ada orang Kristen yang sudah lahir baru pun masih membawa
     masalah ini, karena pengaruh latar belakang kita itu kuat
     terhadap diri kita sekarang ini.

-*- Sumber -*-:
   [[Sajian kami di atas, kami ambil dari isi salah satu kaset TELAGA
     No.  10A, yang telah kami ringkas/sajikan dalam bentuk tulisan.]]
     -- Jika anda ingin mendapatkan transkrip seluruh kaset ini lewat
        e-mail, silakan kirim surat ke:  < owner-i-kan-konsel@xc.org >
     -- Informasi tentang pelayanan TELAGA/Tegur Sapa Gembala Keluarga
        dapat anda lihat dalam kolom INFO edisi e-Konsel 03 dari URL:
    ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/003/    [01 Nov 2001]


*BIMBINGAN *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* ALKITABIAH*

                -*- MENGATASI GANGGUAN RASA SALAH -*-

  Pengampunan
  -----------
  O.H. Mowrer, seorang ahli psikologi, mengatakan bahwa:
     "Orang yang neurotik atau orang yang menderita gangguan syaraf,
     menurut pengalaman pengarang, semuanya, tanpa kecuali adalah
     orang yang telah melakukan hal-hal yang menyebabkan ia merasa
     malu, tetapi ia tidak mau mengakui dan membuang sifat ketidak-
     dewasaannya itu, malah mencoba menyangkal, tidak mau mengakui
     diri bodoh, serta memendam perasaan malu, dan perasaan bersalah
     itu." (Learning Theory and Personality Dynamics, Ronald, N.Y.)
  Dengan tidak mau mengakui kegagalan-kegagalan dan menghadapi
  pilihan-pilihan yang salah, kita menanam benih-benih perasaan
  bersalah, kekhawatiran dan tindakan-tindakan yang salah lainnya
  dalam kepribadian kita.

  Alkitab selalu memperingatkan kita agar berhati-hati mengenai cara
  menanggulangi kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kita.
  Kitab Suci menamakan "hal-hal yang membuat kita merasa malu itu"
  sebagai dosa. Alkitab pun mengatakan bahwa kita tidak hanya merasa
  bersalah terhadap hal-hal semacam itu; bahkan kita benar-benar
  bersalah.

  Di sinilah Kitab Suci dan ahli-ahli psikologi sering bertentangan.
  Dalam pandangan Alkitabiah, kesalahan itu nyata, dan kesalahan itu
  sendiri harus ditanggulangi. Bagi psikologi yang bersifat
  keduniawian, perasaan-perasaan bersalah itu merupakan inti
  persoalan. Kesalahan itu sendiri semata-mata bersifat kultural dan
  relatif -- tidak obyektif dan tidak nyata.

  Tetapi jika pandangan Alkitab itu benar, cara pengobatan yang dicoba
  diterapkan oleh ahli-ahli psikologi semacam itu (mengemukakan alasan-
  alasan bagi kekhawatiran dan perasaan bersalah serta mencoba
  menghilangkannya) benar-benar akan mengobati gejalanya, tetapi bukan
  penyakitnya!

  Di sini jurang pemisah antara pandangan duniawi dan pandangan
  Kristus terhadap manusia sekali lagi dinyatakan dengan jelas. Jika
  kehidupan di dunia ini merupakan satu-satunya hal yang dipersoalkan,
  maka menyembuhkan gejala-gejala saja mungkin cukup. Tetapi apabila
  manusia dipandang sebagai pribadi-pribadi yang terus hidup, yang
  direncanakan untuk terus sadar akan dirinya selama-lamanya, tidaklah
  cukup jika menanggulangi perasaan bebas dari gejala-gejala itu hanya
  untuk sementara saja. Kesalahan itu sendiri harus ditanggulangi dan
  dihilangkan.

  Cara-cara Peringatan Allah Sejak Awal Mula
  ------------------------------------------
  Perasaan bersalah serta kekhawatiran dapat pula dipandang sebagai
  karunia Allah bagi kita, karunia-karunia yang memperingatkan kita
  akan sesuatu yang salah dalam kepribadian kita. Kesalahan membiarkan
  kita menghayati kenyataan dosa dan mendorong kita untuk memohon
  pengampunan kepada Allah.

  Pengampunanlah yang merupakan obat utama bagi kesalahan. Melalui
  pengampunan, Allah menghilangkan kesalahan yang sebenarnya dan
  membebaskan kita dari perasaan-perasaan dan kekhawatiran-
  kekhawatiran yang berakar di dalamnya. Jika Allah mengampuni dosa-
  dosa kita, Ia melupakannya (Ibrani 10:17), dan kita pun berhak untuk
  melupakan juga. Bukan karena kita memendamnya, melainkan karena dosa
  itu sungguh-sungguh hilang.

  Hidup dalam Pengampunan
  -----------------------
  Yohanes menulis kepada orang-orang Kristen,
     "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil,
     sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita
     dari segala kejahatan." (1Yohanes 1:9)

  Ayat ini mengatakan bahwa kita perlu belajar mengatasi kegagalan-
  kegagalan kita sehari-hari dengan bersandar pada pengampunan, bukan
  dengan mencoba menyembunyikannya dari pandangan Allah dan diri
  sendiri. Jika kita mengakui kegagalan-kegagalan kita kepada Allah
  secara terus-terang, kita pun akan menerima janji Allah bahwa proses
  penyucian Allah yang menyenangkan itu akan berlangsung dalam pribadi
  kita. Allah akan terus membuat kita baru.

  Mengungkapkan frustasi-frustasi, kegagalan-kegagalan dan kesalahan
  kita yang dipendam mungkin membebaskan kita dari perasaan tertekan.
  Psikologi telah menemukan suatu cara untuk menolongnya. Namun datang
  dengan jujur kepada Allah dan menerima pengampunan-Nya akan
  menghilangkan sebab-sebab dari kesalahan serta kekhawatiran kita,
  serta menempatkan kita pada jalan yang mengubah kita menjadi sungguh-
  sungguh baru.

-*- Sumber -*-:
  Judul Buku: Psikologi dan Alkitab
  Penulis   : Larry Richards, Ph.D.
  Penerbit  : Yayasan Kalam Hidup
  Halaman   : 29 - 31