Tuhan Yesus Sebagai Batu Penjuru | Batu Hidup atau Batu Mati



Baca:  1 Petrus 2:1-10

"Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan."  1 Petrus 2:6






         Rasul Petrus menegaskan bahwa Yesus disebut sebagai batu yang terpilih dan merupakan batu penjuru yang mahal, sehingga barangsiapa percaya kepadaNya tidak akan dipermalukan  (ayat nas).

     Mengapa Tuhan Yesus disebut sebagai batu pilihan?  Karena Dia telah dipilih secara khusus oleh Allah dan ditentukan sebagai pondasi kehidupan serta dasar keselamatan bagi setiap orang yang percaya kepadaNya.  Tertulis:  "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan."  (Kisah 4:12).  Jadi,  "...jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan."  (Roma 10:9).  Hal ini menunjukkan bahwa  "...tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus."  (1 Korintus 3:11).

     Batu penjuru adalah batu yang menentukan arah sebuah bangunan, batu yang pertama kali diletakkan yang menjadi patokan pembangunan.  Sebagai batu penjuru Tuhan Yesus adalah pusat dari segala aspek kehidupan kita;  Dia adalah batu yang menentukan arah kehidupan kita.  Karena itu kita harus menjadikan Tuhan Yesus sebagai prioritas dan tujuan hidup kita karena Dia adalah Pemegang kendali hidup kita;  artinya Dia harus menjadi pusat dan tujuan hidup kita karena Dia adalah Alfa dan Omega,  "...yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa."  (Wahyu 1:8).  Dialah yang mengawali seluruh kehidupan ini dan juga yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan ini.  Seluruh keberadaan hidup kita pada hakekatnya menuju ke arah Yesus.  Jika kita mengaku sebagai orang Kristen tapi tidak mengarahkan hidup sepenuhnya kepada Yesus sama artinya kita sedang berusaha melepaskan diri dari bangunan tersebut.  Yesus menegaskan,  "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar."  (Yohanes 15:5b-6).


Baca:  1 Petrus 2:1-10

"Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada Firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan."  1 Petrus 2:8

         Keberadaan orang percaya digambarkan sebagai batu-batu hidup yang dipergunakan untuk pembangunan rumah rohani.  Dengan demikian setiap kita memiliki peran dan fungsi.  Tertulis:  "...kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib; kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan."  (1 Petrus 2:9-10).

     Menjadi batu yang hidup berarti memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan.  "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus."  (1 Tesalonika 4:7).  Jadi,  "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus."  (1 Petrus 1:15-16).  Hidup di dalam kekudusan berarti tidak  "...menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran."  (Roma 6:13).

    Sebaliknya jika kita tetap hidup dalam ketidaktaatan dan ketidaksetiaan dalam melakukan kehendak Tuhan dan memiliki gaya hidup yang duniawi, maka keberadaan kita sama seperti batu-batu yang mati.  Artinya kita telah gagal dalam menjalankan peran dan fungsi kita sebagai anak-anak Tuhan.  Kita tidak lagi mencerminkan umat tebusan Tuhan dan imamat yang rajani, melainkan telah menjadi batu sandungan bagi orang lain, apalagi jika saat dalam masalah dan penderitaan kita mengeluh, bersungut-sungut, mengumpat, ikut-ikutan mencari pertolongan kepada dunia, mata rohani tidak lagi tertuju kepada Tuhan Yesus, selaku Batu Penjuru kita, sehingga orang-orang dunia pun tidak melihat Kristus ada di dalam kita.

Kita menjadi batu-batu yang mati!