Perampas Sukacita | Renungan Harian


Ayat bacaan: Mazmur 33:21

"Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya."

Pernahkah anda bertemu dengan orang yang sikapnya berubah secara mendadak menjadi negatif? Saya sudah beberapa kali bertemu dengan orang seperti ini. Tadinya periang, suka senyum dan menyenangkan, tapi tiba-tiba mereka berubah menjadi pemurung, menghindar dari orang lain dan pendiam. Kalaupun menjawab hanya seadanya saja dengan singkat. Adda juga yang berubah menjadi pribadi pemarah dengan emosi tak terkontrol. Mereka tidak segan-segan menunjukkan amarahnya di depan orang lain yang bisa terpicu dalam hitungan detik saja. Ada yang menjadi dingin dan kaku. Pendeknya, mereka mengalami perubahan sikap ke arah negatif yang membuat suasana disekitar mereka tiba-tiba menjadi gelap, muram atau bahkan panas. Beberapa dari mereka saya kenal cukup dekat, dan saya sendiri cukup kaget melihat perubahan sikap seperti ini dalam waktu relatif singkat. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Kesimpulan saya dari semua orang yang mengalami ini bermuara pada satu hal: mereka kehilangan sukacita. There are things that can steal your joy, dan itu akan membuat perilaku dan sikap orang bisa langsung berubah dari terang menjadi gelap, bagaikan mendung yang mendadak datang menutupi cerahnya langit.

Kita hidup di dunia yang sulit. Terkadang dunia itu bisa begitu mengerikan bagaikan penuh dengan ranjau-ranjau yang bisa meledakkan kita dalam setiap langkah. Di dunia yang sulit ini pula kita bertemu dengan orang-orang yang siap membuat kita kehilangan kesabaran dan membuat situasi yang sudah buruk bertambah parah. Lalu bagaimana? Bukankah kita setiap saat harus berhadapan dengan itu semua dan kita ini hanyalah manusia biasa yang terbatas daya tahan dan kesabarannya? Tentu saja. Tetapi ada satu cara yang jitu untuk bisa mengatasi ini semua, dan itu bermuara pada pemahaman kita tentang asal muasal dari sebuah sukacita itu. Apapun penyebabnya, semua itu biasanya berasal dari kekeliruan kita dalam meletakkan atau menumpukan sukacita kita sendiri. Jika kita mendasarkan sukacita kita kepada manusia maka cepat atau lambat kita akan kehilangan sukacita tersebut dari dalam diri kita. Manusia bisa mengecewakan, orang terdekat kita sekalipun pada suatu waktu bisa menyinggung perasaan kita lalu membuat kita terluka, merasa tidak dipeduli, dikhianati dan sebagainya. Tapi dengarlah. Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita. Pemazmur adalah juga manusia seperti kita yang tentu saja tidak luput dari berbagai permasalahan termasuk di dalamnya berhadapan dengan orang-orang sulit yang siap membuat sukacita kita lenyap dari diri kita. Tapi lihatlah bagaimana ia berseru. "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2). Tidak hanya dikatakan sebagai tempat perlindungan dan kekuatan dan penolong dalam kesesakan, tapi juga sangat terbukti.

Lantas kemana seharusnya kita menggantungkan sukacita kita? Sebuah sukacita yang sejati itu sesungguhnya berasal dari TUHAN, dan bukan dari manusia, bukan pula tergantung dari situasi, kondisi atau keadaan yang tengah kita alami. Artinya, kita tidak harus menggantungkan kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidup kita kepada manusia lain di sekeliling kita, atau pada keadaan kita saat ini, melainkan menggantungkannya kepada Tuhan, Allah kita yang tidak akan pernah mengecewakan anak-anakNya. Ayat berikut ini menyatakan kunci  tersebut dengan sangat jelas dan sederhana. "Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya." (Mazmur 33:21). Dari sini kita bisa melihat bahwa hati kita bersukacita bukan tergantung dari orang lain atau situasi yang kita hadapi, tapi tergantung dari sejauh mana kita percaya pada Tuhan dan mempercayakanNya sebagai sumber sukacita kita yang sejati. Kita tidak akan pernah bisa menghempang masalah, kita tidak akan bisa menghindari persinggungan dengan orang lain. Masalah boleh hadir, orang-orang yang sulit ini bisa kapan saja hadir di depan hidung kita, tapi sukacita tidak boleh hilang karenanya. Mengapa? Karena sukacita sesungguhnya berasal dari Tuhan, bukan dari orang atau situasi di sekeliling kita.

Perampas Sukacita (2) | Renungan Harian
Satu hal lagi yang juga pantas menjadi perhatian kita adalah membereskan segala kesalahan dan masalah kita di masa lalu. Ini sangatlah penting, karena sesungguhnya hidup dengan hati yang tertuduh pun bisa merampas sukacita dari diri kita. Lihatlah ayat berikut ini: "Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah" (1 Yohanes 3:21). Seringkali perasaan tertuduh dan bersalah membuat kita ragu untuk mendekati Tuhan, dan akibatnya kita tidak lagi merasakan sebentuk sukacita yang berasal dariNya. Iblis sangat senang memperdaya kita dengan terus menuduh kita atas segala kesalahan di masa lalu. Bisa begitu intensnya tuduhan itu hingga kita lupa bahwa Tuhan sebenarnya sudah mengampuni kita ketika kita bertobat.

Yesus sudah mengingatkan kita: "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). Jika kita membereskan semua kesalahan kita, mengakuinya di hadapan Tuhan dan membereskan dengan orang-orang yang berkaitan dengan itu, memberikan pengampunan bagi mereka yang pernah menyakiti kita, kita pun akan terbebas dari perasaan tertuduh itu. Iblis tidak akan bisa mendakwa apa-apa lagi dari kita, ia tidak akan bisa lagi memperdaya kita.. Kita bisa membangun kembali hubungan kita dengan Tuhan, dan dengan demikian sukacita daripadaNya akan kembali mengalir ke dalam diri kita.

Siapapun orangnya, pada suatu kali bisa saja mengesalkan kita. Situasi sulit bisa kapan saja menimpa diri kita. Semua orang punya kelemahan masing-masing, baik dari sifat, perilaku, kebiasaan dan lainnya. Tapi tidakkah mereka juga punya kelebihan sendiri-sendiri? Mungkin suami anda bukanlah orang yang rapi, tapi dia setia dan begitu menyayangi anda. Mungkin dia mendengkur, tapi itu karena ia mati-matian membanting tulang demi memenuhi kebutuhan anda. Mungkin istri anda pada suatu ketika terlambat bangun dan menyiapkan sarapan, tapi tidakkah anda bahagia ketika melihat senyumannya menyambut anda pulang kerja? Mungkin dia punya sifat cuek dan kurang romantis, tapi bayangkan hidup tanpa dirinya. In the end we have to realize that nobody's perfect. They make mistakes, so do we.

Jangan dasarkan sukacita kita kepada orang atau situasi terkini yang kita hadapi, tetapi dasarkanlah kepada Tuhan. Itulah sumber sukacita yang sebenarnya, yang sejati. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersukacita, karena semua itu berasal dari Tuhan dan itu letaknya sangat jauh di atas segala permasalahan atau orang-orang yang mengecewakan kita. Begitu banyak orang yang keliru meletakkan sukacitanya hingga Firman Tuhan pun mengingatkan hingga berulang dalam ayat yang sama. "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4). Lalu dalam kesempatan lain: "Bersukacitalah senantiasa." (1 Tesalonika 5:16). Percayalah bahwa kita punya Tuhan yang jauh lebih besar dari semua masalah, yang telah memberikan kita sukacita sejati terlepas dari apapun keadaan kita hari ini dan siapapun yang kita hadapi saat ini. Oleh karenanya, jangan biarkan sukacita kita dirampas. Let's set our mind towards the real joy from the real source. "Bersukacitalah senantiasa.Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:16-18). Apakah anda siap untuk menerima kembali sukacita dalam diri anda? Dasarkanlah pada sumber yang benar. Are you ready? Let's rejoice!

Sukacita sejati itu berasal dari Tuhan dan bukan dari orang lain atau situasi terkini yang kita alami

Komentar