e-Konsel: Mencari Pasangan Hidup

BEDA ANTARA CINTA DAN COCOK
Oleh: Dr. Paul Gunadi
  Salah satu alasan paling umum mengapa kita menikah adalah karena
  cinta -- cinta romantik, bukan cinta agape, yang biasa kita alami
  sebagai prelude ke pernikahan. Cintalah yang meyakinkan kita untuk
  melangkah bersama masuk ke mahligai pernikahan. Masalahnya adalah,
  walaupun cinta merupakan suatu daya yang sangat kuat untuk menarik
  dua individu, namun ia tidak cukup kuat untuk merekatkan keduanya.
  Makin hari makin bertambah keyakinan saya bahwa yang diperlukan
  untuk merekatkan kita dengan pasangan kita adalah kecocokan, bukan
  cinta. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud.
  Biasanya cinta datang kepada kita ibarat seekor burung yang tiba-
  tiba hinggap di atas kepala kita. Saya menggunakan istilah "datang"
  karena sulit sekali (meskipun mungkin) untuk membuat atau
  mengkondisikan diri mencintai seseorang. Setelah cinta menghinggapi
  kita, cinta pun mulai mengemudikan kita ke arah orang yang kita
  cintai itu. Sudah tentu kehendak rasional turut berperan dalam
  proses pengemudian ini. Misalnya, kita bisa menyangkal hasrat cinta
  karena alasan-alasan tertentu. Tetapi, jika tidak ada alasan-alasan
  itu, kita pun akan menuruti dorongan cinta dan berupaya mendekatkan
  diri dengan orang tersebut.
  Cinta biasanya mengandung satu komponen yang umum yakni rasa suka.
  Sebagai contoh, kita berkata bahwa pada awalnya kita tertarik dengan
  gadis atau pria itu karena kesabarannya, kebaikannya menolong kita,
  perhatiannya yang besar terhadap kita, wajahnya yang cantik atau
  sikapnya yang simpatik, dan sejenisnya. Dengan kata lain, setelah
  menyaksikan kualitas tersebut di atas timbullah rasa suka
  terhadapnya sebab memang sebelum kita bertemu dengannya kita sudah
  menyukai kualitas tersebut. Misalnya, memang kita mengagumi pria
  yang sabar, memang kita menghormati wanita yang lemah lembut, memang
  kita mengukai orang yang rela menolong orang lain dan seterusnya.
  Jadi, rasa suka muncul karena kita menemukan yang kita sukai pada
  dirinya.
  Saya yakin cinta lebih kompleks dari apa yang telah saya uraikan.
  Namun khusus untuk pembahasan kali ini, saya membatasi lingkup cinta
  hanya pada unsur suka saja. Cocok dan suka tidak identik namun
  sering dianggap demikian. Saya berikan contoh. Saya suka rumah yang
  besar dengan taman yang luas, tetapi belum tentu saya cocok tinggal
  di rumah yang besar seperti itu. Saya tahu saya tidak cocok tinggal
  di rumah sebesar itu sebab saya bukanlah tipe orang yang rajin
  membersihkan dan memelihara taman (yang dengan cepat akan bertumbuh
  kembang menjadi hutan). Itulah salah satu contoh di mana suka tidak
  sama dengan cocok. Contoh yang lain. Rumah saya kecil dan cocok
  dengan saya yang berjadwal lumayan sibuk dan kurang ada waktu
  mengurusnya. Namun saya kurang suka dengan rumah ini karena bagi
  saya, kurang besar (tamannya). Pada contoh ini kita bisa melihat
  bahwa cocok berlainan dengan suka. Pada intinya, yang saya sukai
  belum tentu cocok buat saya; yang cocok dengan saya belum pasti saya
  sukai. Sekarang kita akan melihat kaitannya dengan pemilihan
  pasangan hidup.
  Tatkala kita mencintai seseorang, sebenarnya kita terlebih dahulu
  menyukainya, dalam pengertian kita suka dengan ciri tertentu pada
  dirinya. Rasa suka yang besar (yang akhirnya berpuncak pada cinta)
  akan menutupi rasa tidak suka yang lebih kecil dan -- ini yang
  penting -- cenderung menghalau ketidakcocokan yang ada di antara
  kita. Di sinilah terletak awal masalah.
  Ini yang acap kali terjadi dalam masa berpacaran. Rasa suka meniup
  pergi ketidakcocokan di antara kita, bahkan pada akhirnya kita
  beranggapan atau berilusi bahwa rasa suka itu identik dengan
  kecocokan. Kita kadang berpikir atau berharap, "Saya menyukainya,
  berarti saya (akan) cocok dengannya." Salah besar! Suka tidak sama
  dengan cocok; cinta tidak identik dengan cocok! Alias, kita mungkin
  mencintai seseorang yang sama sekali tidak cocok dengan kita.
  Pada waktu Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi istri Adam, Ia
  menetapkan satu kriteria yang khusus dan ini hanya ada pada
  penciptaan istri manusia, yakni, "Aku akan menjadikan penolong
  baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18). Kata "sepadan"
  dapat kita ganti dengan kata "cocok." Tuhan tidak hanya menciptakan
  seorang wanita buat Adam yang dapat dicintainya, Ia sengaja
  menciptakan seorang wanita yang cocok untuk Adam.
  Tuhan tahu bahwa untuk dua manusia bisa hidup bersama mereka harus
  cocok. Menarik sekali bahwa Tuhan tidak mengagungkan cinta
  (romantik) sebagai prasyarat pernikahan. Tuhan sudah memberi kita
  petunjuk bahwa yang terpenting bagi suami dan istri adalah
  kecocokan. Ironisnya adalah, kita telah menggeser hal esensial yang
  Tuhan tunjukkan kepada kita dengan cara mengganti kata "cocok"
  dengan kata "cinta." Tuhan menginginkan yang terbaik bagi kita;
  itulah sebabnya Ia telah menyingkapkan hikmat-Nya kepada kita. Sudah
  tentu cinta penting, namun yang terlebih penting ialah, apakah ia
  cocok denganku?
  Saya teringat ucapan Norman Wright, seorang pakar keluarga di
  Amerika Serikat, yang mengeluhkan bahwa dewasa ini orang lebih
  banyak mencurahkan waktu untuk menyiapkan diri memperoleh surat ijin
  mengemudi dibanding dengan mempersiapkan diri untuk memilih pasangan
  hidup. Saya kira kita telah termakan oleh motto, "Cinta adalah
  segalanya," dan melupakan fakta di lapangan bahwa cinta (romantik)
  bukan segalanya. Jadi, kesimpulannya ialah, cintailah yang cocok
  dengan kita!
-*- Sumber -*-:
  Judul Buletin: PARAKALEO, Vol.V/No.3/Edisi Juli-September 1998
  Penerbit     : Departemen Konseling Sekolah Tinggi Theologi
                 Reformed Injili Indonesia (STTRI)


-*- MENCARI PASANGAN HIDUP -*-
  Mencari pasangan hidup bukanlah persoalan kaum remaja atau pemuda
  saja. Orangtua pun harus ikut memikirkannya dan mendoakannya bahkan
  semenjak sang anak masih kecil. Secara tidak sadar kadang anak-anak
  menjadikan orangtua mereka sebagai model atau figur akan pasangan
  hidup mereka nantinya. Pembekalan rohani yang cukup kepada anak
  sejak dini akan mempengaruhi sang anak dalam mengambil keputusan
  untuk menentukan kapan dan siapa pasangan hidupnya nanti. Untuk
  membahas ini, mari kita simak percakapan kita dengan Dr. Paul
  Gunadi.
--------
  T : Apakah ada semacam pedoman dalam menentukan teman hidup,
      khususnya bagi pemuda-pemudi Kristen.
  J : Orangtua harus sadar bahwa anak-anak, dalam memilih jodoh,
      sebenarnya tidak begitu jauh dari orangtuanya. Anak melihat dan
      menyerap banyak dari orangtua; apa yang disukai dan yang tidak
      disukai dari orangtuanya. Lingkungan anaklah yang sebenarnya
      mengajarkan langsung kepadanya tentang jodoh, seperti apa orang
      yang akan mereka pilih nanti. Kalau anak pria suka pada ibunya
      maka dia akan cari wanita yang sama dengan ibunya, begitu pula
      sebaliknya dengan anak wanita. Jadi pengajaran kepada anak akan
      jodoh adalah seperti apa yang orangtua inginkan, seperti apa
      yang keluarga dan lingkungan inginkan.
-------
  T : Pemuda/i Kristen saat ini banyak mengeluh karena jika ingin
      mencari pasangan yang seiman sulit, karena sering tidak sesuai
      dengan keinginan mereka. Mungkin karena ada unsur penampilan
      fisik yang diutamakan.
  J : Memang penting untuk menikah dengan yang kita sukai, seperti
      yang dikatakan Paulus dalam jemaat Korintus, boleh menikah
      dengan siapa saja. Tetapi Paulus pun mengajukan syarat yaitu
      harus orang yang percaya. Memang bukan alasan utama kalau
      menikah dengan pasangan yang seiman akan bahagia, tetapi yang
      harus disadari adalah ketaatan akan firman Tuhan.
-------
  T : Bagaimana kalau misalnya memilih pasangan hidup yang tidak
      seiman, dengan harapan untuk menjadi seiman.
  J : Masalah ini akan membuka dua pintu, yaitu akan menjadi seiman
      dengan iman Kristen kita, atau menjadi seiman dengan iman
      pasangan kita? Jadi sekali lagi, itu semua adalah hal tentang
      menaati firman Tuhan
-------
  T : Kalau anak sudah terlanjur berpacaran dengan yang tidak seiman,
      bagaimana sikap orangtua?
  J : Masalah di atas memang sangat sulit, sudah tentu kita harus
      berdoa. Kesulitannya adalah jika anak kita sudah telanjur jatuh
      cinta, dan tidak bisa melepaskan kekasihnya. Yang bisa kita
      lakukan adalah berbicara kepada anak kita bahwa "ini adalah
      hidupmu, engkau yang harus mengambil keputusan karena engkau
      yang akan bertanggungjawab akan kehidupanmu, jadi semua terserah
      padamu". Sebagai orangtua kita hanya bisa berdoa supaya suatu
      saat mereka akan berada dalam satu iman kepada Tuhan Yesus
      Kristus.
-------
  T : Bagaimana sikap orangtua menghadapi anak remaja sekarang yang
      suka berpacaran?
  J : Ajar mereka takut akan Tuhan, bahwa tindakan pacaran bukan hanya
      untuk senang-senang tapi juga untuk masa depan kebahagiaan rumah
      tangga mereka.
-*- Sumber -*-:
  [[Sajian kami di atas, kami ambil dari isi salah satu kaset TELAGA
    No.  6B, yang telah kami ringkas/sajikan dalam bentuk tulisan.]]
    -- Informasi tentang pelayanan TELAGA/Tegur Sapa Gembala Keluarga
       dapat anda lihat dalam kolom INFO edisi e-Konsel 03 dari URL:
   ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/003/    [01 Nov 2001]
   Kaset TELAGA yang juga mengulas tentang Pasangan Hidup: T40A+B
   Judul 40A+B: "Pertanyaan-pertanyaan untuk Mencari Pasangan Hidup"
   Deskripsi  : Beberapa pedoman atau tolok ukur yang dapat digunakan
                untuk menemukan seorang pendamping atau pasangan
                hidup yang tepat, yaitu yang diperkenan oleh Tuhan.
   Kata kunci : Tolok ukur, pedoman, poros, hidup bersama, nilai moral.


*BIMBINGAN *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* ALKITABIAH*
              -*- MEMBAWA TEMAN HIDUP KEPADA KRISTUS -*-
  LATAR BELAKANG
  --------------
  Dalam beberapa kesempatan tertentu, Yesus mengejutkan para murid
  dengan ungkap-ungkapan yang seolah bertentangan. "Jangan kamu
  menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi. Aku
  datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang. Sebab Aku datang
  untuk memisahkan orang dari ayahnya, atau perempuan dari ibunya,
  menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-
  orang seisi rumahnya." (Matius 10:34-36).
  Tidak ada situasi lain yang di dalamnya mengandung konsekuensi
  pemuridan yang demikian jelas, dibandingkan dalam suatu rumah
  tangga yang salah satu pasangannya Kristen dan yang lainnya bukan.
  Kehidupan menjadi sulit disebabkan oleh munculnya perbedaan-
  perbedaan minat, kegiatan dan sasaran hidup. Usaha untuk membawa
  teman hidup kepada Kristus harus menduduki sasaran utama. Namun
  usaha itu harus dilakukan dalam cara yang sangat hati-hati. Banyak
  pernikahan gagal dalam perceraian, disebabkan oleh ketidakpekaan dan
  semangat berlebihan pada pasangan Kristen yang berusaha menginjili
  pasangannya.
     [[Jika teman/sanak keluarga anda ada yang ingin menginjili
     pasangannya yang belum mengenal Tuhan, saran apa yang akan
     anda berikan?]]


  STRATEGI BIMBINGAN
  ------------------
  1. Ucapkan selamat atas keinginannya menyaksikan pengalaman hidup
     terindah dalam Injil, kepada kekasih hidupnya. Hendaknya dia
     berhati-hati atas peringatan yang diberikan di atas.
  2. Nasihatkan orang yang anda layani untuk tidak bertindak seolah-
     olah Allah. Dia tidak dapat memaksa teman hidupnya untuk menerima
     Kristus, juga tidak berusaha bertindak sendiri mengggantikan
     tindakan teman hidupnya. Orang yang berusaha mengatur semua hal
     dengan kekuatannya sendiri, akan menghadapi banyak malapetaka.
  3. Nasihatkan dia untuk tidak bersitegang atau menghakimi, tetapi
     bersikap rendah hati. Sikap sangat menentukan.
  4. Anjurkan orang Kristen tersebut untuk mendewasakan kerohaniannya
     melalui pembacaan dan penelaahan Firman Tuhan, belajar berdoa dan
     mempraktekkannya dengan setia. Doa sangat besar nilainya.
     Serahkan teman hidup pada Tuhan dan dalam iman, mohonkan
     pertobatannya. Malah lebih bijaksana untuk tidak mendoakan secara
     terbuka. Percayailah Allah. Dia memiliki cara bekerja yang ajaib.
  5. Teladan berpengaruh besar! Ijinkan teman hidupnya melihat Yesus
     dalam sikap dan tindakannya.
     Biarkan kasihnya meluap. Kasih sejati tak dapat ditiru. Paulus
     berkata: "Kasih itu sabar: kasih itu murah hati; ia tidak
     cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih tidak
     berkesudahan." (1 Korintus 13:4,8). Berusahalah untuk menyatakan
     bahwa "kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita . . . "
     (Roma 5:5).
  6. Jangan berusaha memaksa dengan adu argumentasi atau mengkhotbahi.
     Tindakan ini justru akan menghasilkan perlawanan yang lebih
     dalam.  Metode yang dianjurkan Paulus, ialah hidup bersama dalam
     damai. Lihat 1 Korintus 7:12-15.


  -----------------------------Kutipan--------------------------------
  Menurut Billy Graham:
  "Rasul Petrus mengungkapkan sesuatu tentang masalah ini. Dia
  berkata: 'Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika
  ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga
  tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya.' (1 Petrus 3:1).
  Ini bukan tugas yang mudah, tetapi itu adalah tanggung jawab anda,
  bukan suami anda. Anda harus menghayati suatu kehidupan yang akan
  menantang teman hidup anda mengambil keputusannya sendiri. Ini tidak
  dapat dilakukan dengan memarahi atau mengkhotbahi, tetapi dengan
  menunjukkan sikap lembut dan penaklukan diri yang sebelumnya tidak
  pernah dilihatnya. Entah yang Kristen sang suami atau sang istri,
  sebagai seorang Kristen dia harus selalu siap menerima cemoohan atau
  perlakuan salah terhadap imannya. Ingatlah ini baik-baik: Tak
  seorang pun yang berada dalam posisi lebih baik untuk memenangkan
  seseorang pada Kristus, kecuali teman hidupnya sendiri."
  ---------------------------Kutipan_Selesai--------------------------
  7. Jangan memaksa teman hidup untuk ke gereja atau menghadiri
     kebaktian Kristen tertentu, kecuali dia sudah menunjukkan
     kecenderungan untuk melakukannya. Sebagai gantinya, perkenalkan
     dia pada sahabat-sahabat Kristen dan acara sosial di rumah tangga
     Kristen lainnya. Teman hidupnya kelak akan melihat perbedaan
     dalam kehidupan pasangannya. Kesempatan untuk bersaksi, kelak
     akan datang.
  8. Berdoalah dengannya, memohon pengertian, hikmat dan kesabaran
     untuk menunggu saat yang tepat, dan melakukan semua petunjuk di
     atas.
  AYAT ALKITAB
  ------------
  "Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu,
  supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman,
  mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya, jika
  mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu.
  Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang
  ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan
  pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah
  yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal
  dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di
  mata Allah." (1 Petrus 3:14)
  "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah
  ia memintakannya kepada Allah, -- yang memberikan kepada semua orang
  dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit --, maka hal
  itu akan diberikan kepadanya." (Yakobus 1:5)
  "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya
  pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang
  baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17)
  "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi
  nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa
  dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang
  melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam
  Kristus Yesus." (Filipi 4:6,7)
-*- Sumber -*-:
  Judul Buku: Buku Pegangan Pelayanan
  Penulis   : Charles G. Ward
  Penerbit  : Persekutuan Pembaca Alkitab
  Halaman   : 206 - 208
  CD-SABDA  : Topik No. 17690 - 17692; Indeks 17505


*TIPS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TIPS*
                    -*- PACARAN SECARA KRISTEN -*-
  Tidak heran bahwa untuk mencapai tujuan yang agung, orang-orang
  Kristen bergaul dan berpacaran secara berbeda dengan orang-orang
  non-Kristen. Pacaran bagi orang Kristen ditandai dengan:
  1. Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love."
     ------------------------------------------------------------
     "Subjective love" sebenarnya tidak berbeda daripada manipulative
     love yaitu "kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulir
     orang yang menerima". Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan
     kemauan dan tugas dari si pemberi dan tidak memperhitungkan akan
     apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh si penerima. Sesuai dengan
     "sinful nature"nya setiap anak kecil telah belajar mengembangkan
     "subjective love". Dan "subjective love" ini tidak dapat menjadi
     dasar pernikahan. Pacaran adalah saat yang tepat untuk mematikan
     sinful nature tsb, dan mengubah kecenderungan "subjective love"
     menjadi "objective love". Yaitu memberi sesuai dengan apa yang
     baik yang betul-betul dibutuhkan si penerima.
  2. Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love."
     -------------------------------------------------------
     "Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous" yaitu
     cemburu. Padahal "envious" mempunyai pengertian yang berbeda.
     "Envious" adalah kecemburuan yang negatif yang ingin mengambil
     dan merebut apa yang tidak menjadi haknya. Sedangkan "jealous"
     adalah kecemburuan yang positif yang menuntut apa yang memang
     menjadi hak dan miliknya. Tidak heran, kalau Alkitab sering
     menyaksikan Allah sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu
     (misal: 20:5). Israel milik-Nya umat tebusan-Nya. Kalau Israel
     menyembah berhala atau lebih mempercayai bangsa-bangsa kafir
     sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan merebut Israel
     kembali kepada-Nya.
     Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi. Pacaran muda-mudi
     Kristen harus ditandai dengan "jealous love". Mereka tidak boleh
     menuntut "sesuatu" yang bukan atau belum menjadi haknya (seperti:
     hubungan seksuil, wewenang mengatur kehidupannya, dsb). Tetapi
     mereka harus menuntut apa yang memang menjadi haknya, seperti
     kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah dalam Tuhan
     Yesus, dsb.
  3. Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love."
     -----------------------------------------------------
     "Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam
     alam mimpi yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa
     "kehidupan ini manis semata-mata". Muda-mudi yang berpacaran
     biasanya terjerat pada "romantic love". Mereka semata-mata
     menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa coba mempertanyakan
     realitanya, misal:
     - apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
     - apakah dia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh
       tanggung jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
     - apakah realita hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu-rayu,
       rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?
     Pacaran adalah persiapan pernikahan, oleh karena itu pacaran
     Kristen tidak mengenal "dimabuk cinta". Pacaran Kristen boleh
     dinikmati tetapi harus berpegang pada hal-hal yang realistis.
  4. Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center."
     -----------------------------------------------------------
     Pacaran dari orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity-
     center". Isi dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas
     (nonton, jalan-jalan, duduk berdampingan, cari tempat rekreasi,
     dsb.), sehingga pacaran 10 tahun pun tetap merupakan 2 pribadi
     yang saling tidak mengenal. Sedangkan pacaran orang-orang Kristen
     berbeda. Sekali lagi orang-orang Kristen juga boleh berekreasi
     dsb, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi
     itu sendiri, tapi pada dialog yaitu interaksi antara dua pribadi
     secara utuh (Martin Buber, "I and Thou", by Walter Kauffmann,
     Charles Scribner's Sons, NY: 1970), sehingga hasilnya suatu
     pengenalan yang benar dan mendalam.
  5. Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented."
     ---------------------------------------------------------------
     Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan
     melampiaskan kebutuhan seksuil. Orientasi dari kedua insan tsb,
     bukanlah pada hal-hal seksuil, tapi sekali lagi (seperti telah
     disebutkan dalam no. 4) pada pengenalan pribadi yang mendalam.
  Jadi, masa pacaran tidak lain daripada masa persiapan pernikahan.
  Oleh karena itu pengenalan pribadi yang mendalam adalah "keharusan".
  Melalui dialog, kita akan mengenal beberapa hal yang sangat primer
  sebagai dasar pertimbangan apakah pacaran akan diteruskan atau putus
  sampai disini.
  Beberapa hal yang primer tsb, antara lain:
  a. Imannya.
     --------
     Apakah sebagai orang Kristen dia betul-betul sudah dilahirkan
     kembali (Yoh 3:3), mempunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7)
     lebih daripada ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat-
     tempat yang tersembunyi dari mata manusia sekalipun ia tetap
     takut berbuat dosa. Apakah ia mempunyai kehausan akan kebenaran
     Allah dan menjunjung tinggi hal-hal rohani?
  b. Kematangan Pribadinya.
     ----------------------
     Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya
     dengan cara yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang
     tua? Apakah ia menghargai pendapat orang lain?
  c. Temperamennya.
     --------------
     Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat
     menempatkan diri dalam lingkungan yang baru bahkan sanggup
     membina komunikasi dengan mereka? Apakah emosinya cukup stabil?
  d. Tanggung-jawabnya.
     ------------------
     Apakah dia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung-jawabnya,
     baik dalam studi, pekerjaan, uang, seks, dsb.?
  Kegagalan dialog akan menutup kemungkinan mengenali hal-hal yang
  primer di atas. Dan pacaran 10 tahun sekalipun belum mempersiapkan
  mereka memasuki phase pernikahan.
  Kegagalan dalam dialog biasanya ditandai dengan pemikiran-
  pemikiran:
  1. Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang
     dia tidak sukai.
  2. Setiap kali bertemu kami selalu mencari acara keluar ... atau
     kami ingin selalu bercumbuan saja.
  3. Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut
     kebenaran yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
  4. Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya bahkan jalan
     pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dsb.
-*- Sumber -*-:
  Judul Buku: Pastoral Konseling
  Penulis   : Yakub B. Susabda
  Penerbit  : Gandum Mas, Malang
  Halaman   : 120 - 123

Komentar