e-Konsel: Prinsip Konseling

BEDA ANTARA CINTA DAN COCOK

Oleh: Dr. Paul Gunadi

  Salah satu alasan paling umum mengapa kita menikah adalah karena
  cinta -- cinta romantik, bukan cinta agape, yang biasa kita alami
  sebagai prelude ke pernikahan. Cintalah yang meyakinkan kita untuk
  melangkah bersama masuk ke mahligai pernikahan. Masalahnya adalah,
  walaupun cinta merupakan suatu daya yang sangat kuat untuk menarik
  dua individu, namun ia tidak cukup kuat untuk merekatkan keduanya.
  Makin hari makin bertambah keyakinan saya bahwa yang diperlukan
  untuk merekatkan kita dengan pasangan kita adalah kecocokan, bukan
  cinta. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud.

  Biasanya cinta datang kepada kita ibarat seekor burung yang tiba-
  tiba hinggap di atas kepala kita. Saya menggunakan istilah "datang"
  karena sulit sekali (meskipun mungkin) untuk membuat atau
  mengkondisikan diri mencintai seseorang. Setelah cinta menghinggapi
  kita, cinta pun mulai mengemudikan kita ke arah orang yang kita
  cintai itu. Sudah tentu kehendak rasional turut berperan dalam
  proses pengemudian ini. Misalnya, kita bisa menyangkal hasrat cinta
  karena alasan-alasan tertentu. Tetapi, jika tidak ada alasan-alasan
  itu, kita pun akan menuruti dorongan cinta dan berupaya mendekatkan
  diri dengan orang tersebut.

  Cinta biasanya mengandung satu komponen yang umum yakni rasa suka.
  Sebagai contoh, kita berkata bahwa pada awalnya kita tertarik dengan
  gadis atau pria itu karena kesabarannya, kebaikannya menolong kita,
  perhatiannya yang besar terhadap kita, wajahnya yang cantik atau
  sikapnya yang simpatik, dan sejenisnya. Dengan kata lain, setelah
  menyaksikan kualitas tersebut di atas timbullah rasa suka
  terhadapnya sebab memang sebelum kita bertemu dengannya kita sudah
  menyukai kualitas tersebut. Misalnya, memang kita mengagumi pria
  yang sabar, memang kita menghormati wanita yang lemah lembut, memang
  kita mengukai orang yang rela menolong orang lain dan seterusnya.
  Jadi, rasa suka muncul karena kita menemukan yang kita sukai pada
  dirinya.

  Saya yakin cinta lebih kompleks dari apa yang telah saya uraikan.
  Namun khusus untuk pembahasan kali ini, saya membatasi lingkup cinta
  hanya pada unsur suka saja. Cocok dan suka tidak identik namun
  sering dianggap demikian. Saya berikan contoh. Saya suka rumah yang
  besar dengan taman yang luas, tetapi belum tentu saya cocok tinggal
  di rumah yang besar seperti itu. Saya tahu saya tidak cocok tinggal
  di rumah sebesar itu sebab saya bukanlah tipe orang yang rajin
  membersihkan dan memelihara taman (yang dengan cepat akan bertumbuh
  kembang menjadi hutan). Itulah salah satu contoh di mana suka tidak
  sama dengan cocok. Contoh yang lain. Rumah saya kecil dan cocok
  dengan saya yang berjadwal lumayan sibuk dan kurang ada waktu
  mengurusnya. Namun saya kurang suka dengan rumah ini karena bagi
  saya, kurang besar (tamannya). Pada contoh ini kita bisa melihat
  bahwa cocok berlainan dengan suka. Pada intinya, yang saya sukai
  belum tentu cocok buat saya; yang cocok dengan saya belum pasti saya
  sukai. Sekarang kita akan melihat kaitannya dengan pemilihan
  pasangan hidup.

  Tatkala kita mencintai seseorang, sebenarnya kita terlebih dahulu
  menyukainya, dalam pengertian kita suka dengan ciri tertentu pada
  dirinya. Rasa suka yang besar (yang akhirnya berpuncak pada cinta)
  akan menutupi rasa tidak suka yang lebih kecil dan -- ini yang
  penting -- cenderung menghalau ketidakcocokan yang ada di antara
  kita. Di sinilah terletak awal masalah.

  Ini yang acap kali terjadi dalam masa berpacaran. Rasa suka meniup
  pergi ketidakcocokan di antara kita, bahkan pada akhirnya kita
  beranggapan atau berilusi bahwa rasa suka itu identik dengan
  kecocokan. Kita kadang berpikir atau berharap, "Saya menyukainya,
  berarti saya (akan) cocok dengannya." Salah besar! Suka tidak sama
  dengan cocok; cinta tidak identik dengan cocok! Alias, kita mungkin
  mencintai seseorang yang sama sekali tidak cocok dengan kita.

  Pada waktu Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi istri Adam, Ia
  menetapkan satu kriteria yang khusus dan ini hanya ada pada
  penciptaan istri manusia, yakni, "Aku akan menjadikan penolong
  baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18). Kata "sepadan"
  dapat kita ganti dengan kata "cocok." Tuhan tidak hanya menciptakan
  seorang wanita buat Adam yang dapat dicintainya, Ia sengaja
  menciptakan seorang wanita yang cocok untuk Adam.

  Tuhan tahu bahwa untuk dua manusia bisa hidup bersama mereka harus
  cocok. Menarik sekali bahwa Tuhan tidak mengagungkan cinta
  (romantik) sebagai prasyarat pernikahan. Tuhan sudah memberi kita
  petunjuk bahwa yang terpenting bagi suami dan istri adalah
  kecocokan. Ironisnya adalah, kita telah menggeser hal esensial yang
  Tuhan tunjukkan kepada kita dengan cara mengganti kata "cocok"
  dengan kata "cinta." Tuhan menginginkan yang terbaik bagi kita;
  itulah sebabnya Ia telah menyingkapkan hikmat-Nya kepada kita. Sudah
  tentu cinta penting, namun yang terlebih penting ialah, apakah ia
  cocok denganku?

  Saya teringat ucapan Norman Wright, seorang pakar keluarga di
  Amerika Serikat, yang mengeluhkan bahwa dewasa ini orang lebih
  banyak mencurahkan waktu untuk menyiapkan diri memperoleh surat ijin
  mengemudi dibanding dengan mempersiapkan diri untuk memilih pasangan
  hidup. Saya kira kita telah termakan oleh motto, "Cinta adalah
  segalanya," dan melupakan fakta di lapangan bahwa cinta (romantik)
  bukan segalanya. Jadi, kesimpulannya ialah, cintailah yang cocok
  dengan kita!

-*- Sumber -*-:
  Judul Buletin: PARAKALEO, Vol.V/No.3/Edisi Juli-September 1998
  Penerbit     : Departemen Konseling Sekolah Tinggi Theologi
                 Reformed Injili Indonesia (STTRI)